Di suatu sore yang indah dalam sebuah hiruk-pikuk aktivitas manusia. Aku hanya diam melihat kegiatan manusia. Bersandar di tempat yang nyaman yang dibatasi dengan kaca yang besar. Tidak bisa menyapa, bersenda gurau, berdialog, bahkan menggapai orang-orang di sekitar. Dalam hatiku mulai bertanya, “Sampai kapankah aku seperti ini?” aku pun mulai meringis, nampaknya tak akan bisa terobati walau seringkali banyak troubadur dan para penghibur lainnya yang datang. Di panti asuhan ini, bersama rekan-rekan dan para seniorku.
Mereka tidak tahu sebenarnya yang aku inginkan -memang nampak seperti autis- tak mau hatiku mulai berontak. Sangat ingin sekali aku mememcahkan kaca pemabatas ini. Karena aku juga memiliki cita-cita, ingin berkelana bercengkrama dengan semua orang. Aku hanya berdo’a mudah-mudahan ada tangan yang membatuku keluar dari sini.
Teman-temanku sudah mulai bepergian menghirup udara segar di luar sana. Bagaimana dengan aku??? Aku mulai tiada kawan di sini. Kawan terakhirku pergi siang tadi, dia menjadi seorang penghibur. Layaknya para penyanyi di tempat-tempat hiburan. Aku hanya bisa mengatakan “selamat tinggal” dan mengantarkan sampai pintu geser ini. Namun, ada satu kata-kata yang selalu aku ingat darinya.
“Tenanglah kawan, ada saatnya buatmu untuk bisa keluar dari sini,” ungkap kawan terakhirku yang mencoba menghiburku. Mungkin inilah hiburan terakhir yang bisa aku terima dari rekanku. Hari-demi hari aku lalui, asisten pemilik panti mulai menunjuk-nunjuk ke arahku saat orang-orang berdatangan ke tempat ini. Jujur, aku baru pertama kali merasakan sentuhan dari oran lain, awalnya aku canggung dan nampak tidak biasa. Tapi, biarlah ini demi menggapai keinginanku untuk keluar dari tempat ini. Dan hidup bersama orang-orang di luar sana.
Sampai pada suatu saat, ada seorang pemuda yang hendak mengadopsiku. Pada saat asisten panti mulai mengenalkanku pada seorang pemuda tadi. Dia mulai meliriku dari jauh, tampak sinis memang. Namun aku selalu menampakkan muka ceria dan bersahabat, agar dia mau mengadopsiku. Di mulai memegangiku, mengelus-elus menilik dari atas sampai bawah sambil menggaruk-garuk dahinya. Aku sudah tidak lagi merasa canggung. Si pemuda pun mulai bertanya kepadaku.
“hei kamu, maukah kamu saya adopsi?”
“bisa tahankah kamu hidup bersama saya, nanti?”
“Maaf bukannya saya tidak percaya kepadamu, tapi kehidupan saya keras, panas, hujan, bahkan badai kamu harus tetap ikut dengan saya.”
Kemudian, aku pun dengan terbata-bata dan tetap menegakkan badan mulai bertanya balik,
“ Memang apa sih yang harus saya lakukan?”.
Dengan nada yang keras si pemuda pun menjawab “kamu menjadi pengirim pesan, pesan perdamaian dan keadilan.” Tanpa berfikir panjang lagi, Aku menyetujuinya nampak tidak bisa menolak ajakan pemuda itu, Ajakannya terlalu meyakinkan sampai-sampai pikiranku ini seperti terhipnotis. Asisten pemilik panti mulai membereskan barang-barangku dan memberikan bonus sebuah jas hujan berwarna hitam agar aku tidak kehujanan.
“Jaga-baik-baik ya” kata si asisten panti “Baiklah, akan ku buat dia kuat dan bersemangat” jawab si pemuda.
Hatiku sumringah, akhirnya aku bisa bercengkrama dengan orang lain. Nampaknya hari ini aku akan memulai hari-hari baruku sebagai pengantar pesan. Tak terlukiskan betapa senangnya hatiku. Sepertinya, lukisan karya Leonardo Da Vinci pun tak seindah hatiku pada saat itu.
Si pemuda tidak lantas membawaku ke rumahnya. Dia membawaku ke suatu tempat untuk mengurangi memori otaknya yang kosong. Aku dibawa ke sebuah ruangan dengan dua jendela kaca, ada satu meja di pojokkan ruangan. Si pemuda pun mengatakan “kamu tunggu di sini dulu, saya mau menimba ilmu sejenak hanya 2 sks, kok.” Nanti aku kenalkan kamu ke teman-teman. Sambil membukakan jas hujanku yang tadi dipakaikan oleh asisten panti.
Si pemuda pun meninggalkan aku. Dia berlari sedikit membanting pintu ruangan yang membuat aku kaget. Aku mulai mengenali ruangan itu, ruangan yang dikelilingi oleh rak buku, Nampak tergolek sebuah buku, kalau tidak salah tentang pergerakan pemuda, reformasi. Ya benar, judulnya reformasi.
Tiba-tiba, ada yang menyapaku “hai, anak baru ya?” aku sedikit kaget dan mulai memutar mencari di sekeliling ruangan dengan degup jantung yang bergerak cepat, terengah-engah seakan nyawaku hanya tinggal di ujung ubun-ubun. Sampai akhirnya aku melihatnya penjuru ruangan di dekat rak buku. Dia sudah agak tua, bibirnya monyong dan agak sedikit keluar. Dia hanya berjongkok di pojokkan ruangan ini menyandarkan diri di tembok dekat jendela. Saat menyapaku nampak ia tidak menggerakan badanya sedikitpun. Nampaknya dia kelelahan, seperti telah berjalan jauh. Kulit putihnya yang mulai kumal, hampir sama dengan pakaian panjang yang dikenakannya. Ikat pinggangnya longgar dan tampak akan putus.
“Hai, anak muda dari mana kamu berasal?” Anak muda nampaknya kita akan menjadi rekan seperjuangan, Kata pak tua itu.
“Benarkah itu pak, bapak sepertinya kelelahan; sepertinya telah melakukan perjalanan jauh.” Kata anak muda itu. Benar sekali anak muda namun ini bukan hanya perjalanan jauh. Bapak baru menyelesaikan tugas bapak bersama rekan-rekan yang ada di sini.
“Mana rekan-rekan bapak?”, sanggah anak itu sambil menoleh ke sekeliling ruangan yang nampak hening tidak ada kegiatan sama sekali. Hanya semilir angin dari jendela yang terbuka sedikit dan suara sepatu orang-orang yang berlalu-lalang di luar ruangan. Mereka semua belum datang, sedang menimba ilmu di ruang belajar. Mereka itu pintar-pintar ilmunya juga banyak karena yang mengajari mereka juga kebanyakan orang-orang hebat.
0 comments: on "Perjalanan Sang Microfone"
Posting Komentar